Selasa, 05 Agustus 2014

Bandung

Aku lahir dan setengah besar di kota Bandung. setengah besar karena setengah waktu lainnya aku habiskan di kota lain. Mau gimanapun, aku le...

Senin, 04 Agustus 2014

Tasikmalaya

Kalo siang siang lagi panas begini, suka inget Tasik. Tasik itu bisa lebih panas daripada Bandung karena lokasinya yang ada di deket laut. ...

Sabtu, 02 Agustus 2014

Wasted Holiday?

Semua juga tau kalau udah lulus dari SMA, pasti dapet jatah libur tiga bulan Iya, aku juga tau. Dulu, aku kira libur itu bakal kerasa lama ...

Jumat, 01 Agustus 2014

AUGUST!

Bulan ini akan jadi bulan yang penting. Duh, tapi nggak kerasa juga udah bulan ke-8 di tahun ini. Rasanya baru aja kemaren tahun baruan sam...

Minggu, 20 Juli 2014

Cover Lagu?

Saya punya hobi menyanyi, meskipun suara saya memang tidak bagus-bagus amat. Namun kali ini saya tidak akan membahas tentang diri saya, m...

Jumat, 13 Juni 2014

Apa kabar dunia?

Sebagai anak yang baru saja lulus SMA dan sudah diterima di salah satu perguruan tinggi, kurang lebih kerjaan saya di rumah hanya sekedar bermalas-malasan selain membantu Bunda sesekali, atau mengisengi adik-adik saya. Jujur, sebenarnya saya jenuh melakukan hal yang itu-itu saja. Saya sudah lama tidak berkeliling kota dengan tujuan yang tidak jelas, hanya untuk berkangen-kangen ria dengan kota ini. Atau, untuk melihat sendiri apa kabarnya kota ini. Ya, apa bedanya sih dengan berkangen-kangen?
Sudahlah.

Rabu (6/11) kemarin, saya memutuskan pergi seorang diri ke Gramedia Merdeka, dengan tujuan awal membeli beberapa buku. Dan yang saya beli hanya dua, sehubungan dengan minat saya akhir-akhir ini. Dan, saya cukup kaget, menyadari sudah sangat lama saya tidak berkunjung ke tempat tersebut. Rak majalah sudah digantikan rak DVD/VCD, dan mungkin karena itu hari Rabu, petugas Gramed pun memakai iket sunda, juga batik. Sayangnya saya tidak mengambil foto, terlalu sibuk menghirup udara padat Gramedia Merdeka ini.

Rak-rak bukunya juga disusun ulang, di mana dulu ada sudut yang khusus untuk sastra, kini berubah menjadi sudut buku untuk anak-anak. Koleksinya bertambah banyak, tapi tetap saja di sudut itu sepinya tak berubah. Saya jadi heran. Ini anak jaman sekarang yang sudah tidak tertarik sastra, atau anak kecil yang sudah tidak minat membaca, atau bagaimana? Atau dua duanya?
Sungguh disayangkan.


Foto di atas saya ambil sekitar dua tahun yang lalu, di mana sudut tersebut masih menjadi sudut sastra.
Yang tak berubah hanyalah sepinya.

Puas menelusuri sudut Gramedia Merdeka, saya menyebrang, lalu memasuki sebuah mall. Menaiki lantai demi lantai menuju foodcourt. Dan saya tidak pernah tahu bahwa mall ini selalu penuh tiap waktu, bukan di hari libur sekalipun. Atau mungin karena ini jam makan siang? Banyak sekali anak sekolah yang duduk di foodcourt ini, entah itu sekedar nongkrong atau juga sekaligus makan siang.

Kemudian saya melamun.

Mereka diberi uang sebanyak apa oleh orangtuanya? Apa setiap hari seperti ini atau bagaimana? Padahal setahu saya juga, hari itu ujian kenaikan kelas sedang berlangsung, tetapi mereka dengan asiknya bertukar psp dan iPad. Sebagai siswa yang tinggal di asrama, tentu saya merasakan hal yang sama, malas belajar. Tapi, pergi ke mall sepulang sekolah hanya untuk nongkrong?
Apa poinnya?
Apa jadinya dengan penerus bangsa kita nanti?
Tapi, saya juga menekankan diri untuk tidak berprasangka buruk setelahnya. Mungkin saja mereka sedang kerja kelompok, belajar TIK. Atau UKK mereka sudah beres, dan ini waktunya bersenang-senang. Atau, yang lainnya. Banyak hal yang mungkin terjadi. Dan berprasangka buruk itu seharusnya dikurangi. Kesehatanmu itu loh, nak.

Setelah puas jajan di salah satu stand, saya kembali melihat keadaan mall yang tambah sesak dengan orang-orang. Keadaan mall yang tertutup dan memiliki langit-langit yang standar, membuat saya muak. Saya akhirnya memutuskan untuk berjalan ke supermarket yang terletak di lantai bawah untuk membeli kebutuhan saya. Tiba-tiba saja, seorang mbak-mbak mencegat saya. Mungkin karena saya berjalan sendirian dan membawa ransel, mbak-mbak itu akhirnya mencegat saya yang tidak punya teman bicara. Mbak-mbak WWF.

Well, how? Saya hanya mengatakan hal yang sejujurnya dan mbak-mbak itu memuji saya habis-habisan. Apa mbak ini tidak menemukan orang seperti saya sebelumnya?

Mbak-mbak ini menanyakan pada saya upaya apa saja yang saya bantu untuk melestarikan lingkungan? Jujur, saya menggeleng, tidak tahu. 'Kalau begitu, sini Winda bantu tanya ya.' Mbak-mbak itu bernama Winda. Saya mengangguk. 'Mbak kalo ke sekolah suka naik umum atau kendaraan pribadi?' saya jawab, 'Umum.' Mbaknya tersenyum. 'Mbak kalau pergi-pergi lebih suka bawa tumblr atau beli minuman?' saya jawab, 'Saya usahakan selalu bawa tumblr selagi sempat, kadang juga bekal makan.' Mbak-mbaknya tersenyum. 'Mbak kalau buang sampah, suka dilempar begitu aja?' Saya jawab, 'Nggak pernah. Saya benci buang sampah sembarangan.' Mbaknya tersenyum lebih lebar, matanya berbinar. 'Mbak kalau belanja ke suatu tempat dan beli itemnya dikit, suka nggak sih menolak pake kantong plastik?' Saya jawab 'Sering, tapi tidak selalu, karena ada beberapa hal yg harus dipisahkan dari isi tas, kardus sepatu misalnya. Selain itu, saya selalu tolak. Apa lagi mbak? Saya selalu mematikan lampu kalau tidur. Saya tidak pernah lupa mencabut charger hape kalau batrenya sudah penuh.' Mbaknya tersenyum lebih lebar lagi.

'Mbak, ternyata sudah banyak banget kan yang mbak lakukan untuk melestarikan alam ini. Secara kita tidak sadari, hal-hal itulah yang seharusnya kita lakukan, memang. Jangan pernah berhenti melakukannya ya, mbak. Hal sekecil apapun, pasti akan ada dampaknya. Hal baik yang mbak lakukan ini tidak akan hanya berdampak pada mbak sendiri, semoga bermanfaat bagi yang lainnya.'

Saya tersenyum, lalu pamit. Berdoa, semoga saja saya bukan satu-satunya orang yang diberi senyum lebar dan mata berbinar oleh mbak-mbak itu.

Satu hal lagi yang berbeda dari mall ini adalah, pintunya. Jika kemarin-kemarin kita bisa masuk keluar lewat pintu mana saja (pintu utama ada dua), sekarang penjaga nya lebih tegas menyuruh kita tertib. Saya sempat kaget, tapi salut. Oh ya, petugas Gramedia Merdeka juga lebih tegas untuk melarang kita duduk di lantai. Reaksi saya sama, sempat kaget tetapi salut. Akhirnya.

Senin, 28 April 2014

Kampung Kreatif Sukaruas

Kalian tau gak sih di Tasik itu ada daerah, namanya Rajapolah? Iya, Rajapolah, bukan Ratupolah. Iya, yang jual kerajinan kerajinan khas Tasik itu loh. Kerajinan yang biasanya terbuat dari bambu, pandan laut, ataupun kayu. Rajapolah itu kalo dari arah Jakarta, Tasik, ada di setelah daerah Ciawi dan sebelum Kota Tasikmalaya. 
Sumber
Tapi di sini saya nggak akan bahas Rajapolah-nya, saya mau bahas tempat pembuatan kerajinannya. Kebetulan selama tiga hari kemarin, sekolah saya mengadakan 'Rihlah Iqtishadiyyah' atau dikenal juga dengan 'Wisata Ekonomi/Kewirausahaan'. Hari pertama, kami mengunjungi Sukahaji yang ada di Cihaurbeuti, mempelajari cara berwirausaha yang baik, juga mempelajari (apa sekedar tau aja?) cara membuat donat, bolen dan roti. Hari kedua kami berkunjung ke Deden batik di mitra Batik Tasikmalaya. Nah, di hari ketiga kami diajak oleh para panitia Rihlah ini untuk berkunjung ke kampung Sukaruas di desa Sukaraja (daerah Rajapolah tapi masuk lagi ke dalemnya.. Iya sih pedaleman begitu sampe sinyal tri saja kecekek), di mana kami diberitahu cara pembuatan kerajinan dari anyaman.

Kami berangkat dari sekolah sekitar jam 08.30. Perlu kalian ketahui kalau sekolah saya itu terletak di Kota Tasikmalaya, tepatnya di Sambongjaya, Mangkubumi. Jadi untuk sampai ke daerah Sukaruas tersebut, kami perlu waktu sekitar satu jam. Kami memakai angkot yang sudah khusus dipesan untuk mengantarkan sampai tujuan. Dasar saya memang suka pakai angkot dan tidur di angkot, selama perjalanan saya tidur, meskipun seisi angkot berisik sekali karena di dalamnya perempuan semua.

Peta Kampung Kreatif Sukaruas. Sumber
Memasuki kawasan Sukaraja, saya terbangun karena angkot berguncang lebih hebat daripada sebelumnya. Jalannya cukup bergelombang parah dan hanya muat untuk satu mobil dan satu motor. Akhirnya saya bangun dan memerhatikan sekitar. Daerah ini masih sejuk. Meskipun ada sinar matahari yang terasa hangat di kulit, udara yang terhirup rasanya berbeda dibanding yang biasa kami hirup di daerah Sambongjaya, meskipun Kota Tasik ini terhitung masih asri. Udara di Sukaraja ini masih lebih alami.

Melihat pemandangan sekitar, saya teringat ingin mengabarkan keadaan saya di Desa ini kepada seseorang. Namun ketika saya cek telepon genggam, di bar signal tertulis tanda x. Sinyal tri tidak cukup kuat menempuh segala rintangan di desa ini, yang terhalang pepohonan pisang dan bambu, juga jalan yang nanjak-mudun sekaligus bergelombang.

Sesampainya kami di lokasi, kami disambut oleh beberapa orang bapak-bapak yang terlihat resik dan berwibawa. Salah seorang dari bapak-bapak tersebut memandu kami untuk masuk ke sebuah rumah yang cukup besar dan sejuk, di depannya ada papan bertuliskan 'PKKS'. Kami pun bertanya-tanya apa itu PKKS. Bapak-bapak yang memandu kami ini punya selera humor yang cukup tinggi, dan bisa berbahasa arab sedikit-sedikit. Beruntung, bahasa arab yang kami jarang gunakan belum luntur dari ingatan.

Sebelum acara dimulai, guru ekonomi kami, Pak Sunjaya mengabsen kami satu-persatu.


Untuk sekedar memastikan apakah ada anak yang ketinggalan di jalan atau tidak.

Selanjutnya, kami diberi sambutan yang cukup panjang oleh Pak Andi, selaku Sekertaris I di PKKS ini. (cmiiw)

Ternyata, PKKS ini adalah kepanjangan dari 'Paguyuban Kampung Kreatif Sukaruas'. Paguyuban ini bukan tempat produksinya, hanya wadah yang menampung para tamu yang ingin berkunjung ke sini, juga yang menampung apresiasi juga ide-ide masyarakat sekitar untuk menciptakan kreasi baru untuk kerajinan khas Tasikmalaya. Selain itu juga Paguyuban ini adalah 'link' yang menyambungkan masyarakat Sukaruas selaku produsen kepada masyarat luas yang berperan sebagai konsumen.

Konsumen dari desa ini banyak sekali. Kerajinan yang dihasilkan didistribusikan ke berbagai macam tempat. Yang terdekat, tentu saja ke Rajapolah. Di domestik, kerajinan ini sampai ke Bandung, dibawa oleh mahasiswa UNPAD yang baru saja melaksanakan KKN di Sukaruas ini. Juga ke Jakarta, yang mana mereka mengikuti pameran yang ada di JCC (Inacraft bukan sih?) atas nama PKKS. Selain domestik, masyarakat Sukaruas ini memiliki banyak pelanggan di luar negri. Inggris, Arab, Jepang. Tiga negara tersebut yang memiliki permintaan paling banyak untuk kerajinan khas Tasik ini.

Salah satu dari kami ada yang bertanya, 'Pak, sejak kapan sih masyarakat sini bikin kerajinan begitu?'


'Wah, kalo itu sih saya gak tau. Kalo saya nanya ke bapak saya, bapak saya selalu bilang itu udah dari dulu. Bapak saya tanya ke Kakek saya, Beliau juga bilang itu udah dari dulu. Kakek saya juga pernah nanya ke bapak dan kakeknya, mereka bilang udah dari dulu. Yaudah, kayaknya udah dari lahir juga pada bisa nganyam gitu kali ya.' Jawab pak Andi ini. Kami tertawa.

'Nggak dari lahir juga sih, kami belajar dulu dong sebelum bisa seperti ini. Ada cerita dari leluhur, pertamanya di desa kami ini, cuma memproduksi topi dari anyaman. Beberapa tahun kemudian ada yang inisiatif bikin kerajinan lain, dan begitu seterusnya. Tapi kalau kalian lihat di desa ini, kalian nggak akan banyak liat pabrik, atau gudang dan semacamnya. Karena ini murni home industri, jadi pengerjaannya banyak yang di rumah. Mungkin ada tempat yang pengerjaannya di gudang, itu untuk produksi kerajinan yang butuh banyak orang. Seperti membuat kotak tisu. Satu orang mencetak pola, satu yang lain merakit, yang lainnya menempel, satu lagi mengecat, dan sebagainya. Bahan yang kami gunakan itu bahan dasarnya diambil dari Serang, Jombang dan Jogjakarta.' Kurang-lebih itu yang dijelaskan Pak Andi ini.

Kenapa dinamakan Kampung Kreatif?

Penamaan Kampung Kreatif ini bukan masyarakat yang mengajukan sendiri kepada pemerintah ingin disebut kreatif, tapi pemerintah sendiri yang melihat bahwa kampung ini kreatif. Jadilah kampung ini dinamakan Kampung Kreatif Sukaruas, diresmikan oleh Bupati Tasikmalaya.

Tentang jalan yang kurang bagus di daerah sini, masyarakat dan anggota paguyuban ini berpendapat lain dari kami. Kami yang sudah banyak menemukan jalan yang berlubang dan jelek, ketika masuk ke daerah sini ya merasa tidak nyaman, capek dengan jalan yang kurang bagus. Tetapi menurut masyarakat dan anggota paguyuban, jalan yang kurang bagus itu menjadi ciri khas dan daya tarik tersendiri. Mungkin maksudnya kalau ada orang lain yang gak biasa ngeliat jalan bergelombang, bisa mengingat sensasi guncangan yang mempesona di kampung ini. (?)

Terakhir sebelum berkeliling, kami diwanti-wanti oleh anggota pengurus paguyuban untuk menjaga kebersihan lingkungan dan menjaga sikap.

Setelah pembukaan yang panjang, kami akhirnya diajak berkeliling, dibagi empat kelompok. Sebelum berkeliling, saya sempat memerhatikan keadaan sekitar sini.

Basecamp PKKS

Jalannya bergelombang~

Pantes aja sih diwanti-wanti jaga kebersihan, mereka aja menyediakan tempat sampah yang memadai ( 'w')b
Setelah dibagi kelompok, kelompok saya disuruh untuk tanya-tanya banyak tentang pembuatan tas. Khusus tas. Kalau ke pembuatan di tempat lain, boleh liat-liat dan tanya-tanya sedikit. Jadi, kita langsung meluncur ke lokasi pembuatan pertama tas, di sebuah rumah ibu-ibu. Di sini kami nggak banyak berbincang dengan ibu tersebut, ibu itu cuma mempraktekan cara membuat tas tersebut.

Nah, sebelumnya sudah dibilang kan, di sini kerjaannya bener-bener dibagi-bagi? Ibu ini bagian nyusun rangka awal tasnya. Sedangkan untuk penambahan aksesori, kain dan risleting dilakukan di tempat lain oleh orang lain.

Ibu ini menganyam tas dengan bahan dasar pandan laut yang sudah dibentuk dan dikeringkan, seperti berikut:


Menganyamnya tidak langsung menganyam seperti kita belajar menganyam waktu di sekolah dasar, melainkan ada cetakannya. Ya jelas saja beda sih, wong menganyam waktu SD itu cuma pake kertas lipat dan hasilnya 2D. Kalau ini kan jadinya kan 3D.


Kalau sekilas dilihat, cara menganyam tas ini mirip dengan merajut. Tapi ya tentu saja lebih rubit merajut, bahan dasarnya lebih tipis dan lain sebagainya. Lebih sulit. Menganyam tas ini terlihat mudah juga, namun ketika dicoba ya kita tidak bisa selancar si ibu ini menganyamnya. Ibu ini sudah terlatih menganyam sejak dulu, beliau bisa menghasilkan 8 anyaman tas dalam sehari. Mungkin karena waktunya juga perlu dibagi untuk mengurus rumah tangga. Kalau bekerja nonstop mungkin bisa mencapai belasan. Hasil yang dikerjakan ibu tersebut bisa dilihat di bawah ini.


Saya perhatikan, wah rasanya enak sekali bekerja seperti ini. Produksi di rumah, nyantai sekali dan cuma mengerjakan sesuatu sesuai yang kita bisa. Di mana lagi sih ada pekerjaan seperti ini? Santai dan enak karena pekerjaan dibagi-bagi sesuai keahliannya.

Setelah tas berbentuk seperti itu, akan ada orang yang menjemput tas-tas tersebut untuk memberikannya kepada orang lain yang tugasnya melengkapi tas itu. Di satu rumah, tas itu diberi kain. Di rumah yang lain, tas itu dijahit dan diberi risleting. Di rumah yang lain lagi, tas itu diberi aksesori hingga akhirnya siap dipasarkan.

Melihat ibu ini dan mendengar penjelasan dari masyarakat, saya jadi teringat game. Jenis game yang biasa mengajak kita untuk memproduksi barang, mendistribusikannya. Di game pun sama, barang tidak sekali jadi di satu tempat, melainkan pembuatannya melalui tahapan-tahapan di berbagai tempat. Saya jadi membayangkan ketua paguyuban ini sedang memainkan game berskala real-life dengan uang masuk saku. Enak sekali kelihatannya, tapi tetap saja butuh perjuangan membangun segalanya, selalu ada tantangan dan masalah. Kalau nggak ada tantangan dan masalah, bukan hidup namanya.

COPYRIGHT © 2017 · SAFIRA NYS | THEME BY RUMAH ES