Senin, 20 Desember 2010

Hang out with IX Bhe.. =)



“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Announcement. Hope to meet all students of class Nine Bhe in front of the masjid, right now. Please be on time, thank you, Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Terdengar pengumuman dari speaker masjid. Setelah mematut diri di cermin, dengan membawa ransel biruku dan bersepatu putih, aku turun ke bawah untuk menemui teman- temanku yang (mungkin) sudah menunggu sedari tadi.


“Hmm.. dari mana aja atuh Rha? Udah jam 09.30 niih!” seru Sri. “hhehehehe.. baru beres mandi rha mahh.. >.< udah semua ini ? ai Ust. Kahfi sama Ust. Acepnya mana?” jawab-tanyaku. “Lagi dipanggilin tuh sama Zarkasih!” jawab Dini. Aku mengangguk.


Upz!! Tiba-tiba kepalaku pening seketika, pandanganku kabur. Semua yang ada di depanku tak bisa kulihat dengan jelas. Aku memegangi kepalaku. “Kenapa Rha?” Tanya Gisna. “Sakit?” sambung Siti Sarah. Aku hanya menggeleng. “Cuma pusing sedikit.” Jawabku akhirnya. “Awas tuu.. Anemia.. penyakit santri!” kata Gisna. “Apa sih ustadzah?? Iya sih, Fira memang punya penyakit ituu..” akuku.








“Ayo semuanya, Nabda bil basmalah!” Seru Ust. Kahfi dari angkot sebelah, ketika kami sudah mennaiki angkot. “BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM!!” seru kami serempak. Angkot pun maju perlahan. Angkot yang kutumpangi maju perlahan. Panas, Pusing, Mual, itulah yang kurasakan saat itu. Mencoba bertahan. Yang hanya bisa kulakukan.


Kepulan asap rokok dan panasnya mesin membuatku sungguh tak kuat. Namun kucoba tuk terus bertahan, semampuku, dengan terus memegangi keningku. “Rha sakit?” Tanya Siti Sarah yang duduk di sampingku. Aku menggelang. “nggak kok, paling cuma pusing biasa.” Jawabku. Aku mengeluarkan teh kotak yang kubekal dan menyeruputnya perlahan. Sedikit membaik.


Jalanan sangat macet. “Pak, kenapa macet banget?” tanyaku memberanikan diri. “Itu, katanya di depan ada motor yang jatuh.” Jawab supir itu. Aku memerhatikan sepanjang jalan yang curam dan berliku. ‘ini memang berbahaya’ batinku. Tak lama kemudian, kami menemukan tiga orang anak – yang mungkin sebaya dengan kami – terjatuh dari sepeda motor. “Astaghfirullahal’adzim.. “ ucap Dini. “Mereka nekat banget ya.” Komentarku ringan. “Nekat kenapa gitu?” Tanya Nurul. “Ya berani ke jalan gitu.. jalannya liku-liku kaya gini.. curam lagii..” jawabku seadanya. Nurul manggut-manggut.


‘Desa Cikeuyeup’. Tulisan yang kubaca di sana. “Heii.. udah nyampe niih!” Seru Mustika dengan suaranya yang cempereng. “Biasa aja dong..” komentar USwah. Mustika mendengus. Kami tertawa. Hup! Aku turun dari mobil. Brukk!! Aku hampir terjatuh (untung ada tembok, Rha berpegangan padanya). Pusing. Kepalaku berputar. Mual. Pandanganku buram. Setidaknya itu yang kurasakan saat turun dari angkot itu.


Tidur di teras samping. Itulah yang pertamakali kulakukan saat datang di Rumah Arkhan. Keluarganya sedang ke pengajian, sedangkan Arkhan sendiri belum datang karena dia menaiki angkot yang berbeda. “Rha pusing? Sok tidurin dulu aja..” kata Nabilah. “Oiya, ana mau jajan. Mau nitip sesuatu nggak?” tawar Nabilah. Aku menggeleng. Tak lama kemudian, aku sudah berada di alam yang lain, alam mimpi.


Aku dibangunkan ketika anak laki-laki dari angkot lain sampai. Aku menemukan dua buah chocolatos di tanganku. ‘Hei, siapa yang memberiku ini?’ batinku. ‘pasti Nabilah’ sambungku. “Ayo Rha, di dalem aja.” Kata Arkhan. Aku menyambut ajakan itu dengan senang hati. Aku langsung menempati kursi panjang dan tidur di atasnya. Sedangkan temanku yang lain sangat ramai di bawah, aku pun tak tahu apa karenanya.


Yang aku bisa perhatikan dari sini – dan dengan posisi berbaring—adalah TV 29” yang hanya memiliki 2 channel, yaitu SCTV dan Indosiar. Di depannya ada sebuah karpet dan dua buah sofa. Satu sofa single, dan yang satunya panjang – yang sedang kutiduri – Lantai di ruangan ini tak berkeramik. Di seberang sofa yang sedang kutiduri ada dua buah ruangan. Yang satu berfungsi sebagai mushalla dan yang satunya berfungsi sebagai kamar (yang mungkin kamar orangtua Arkhan)


Di seberang pintu kamar itu – dekat sofa yang kutiduri – ada sebuah kamar lagi. Di pinggirnya ada dapur dan ruang makan yang cukup luas, karena di ruang makan itu hanya ada satu set kursi makan, lemari dan lemari es. Di sebelah ruang makan, ada kamar mandi dengan air yang sangat dingin.


Orangtua Arkhan datang, aku pun beranjak duduk. Aku menyalami orangtuanya, juga neneknya. “Assalamu’alaikum” sapaku. Mereka menjawabnya sambil tersenyum. Aku pindah tempat istirahat. Ke kamar Arkhan, yang bangunannya terpisah, tepatnya di pinggir rumah dengan pintu masuk yang berbeda. Ketika aku masuk, suasana sejuk menyelimuti ruangan itu. Di sebelah kiri ada tiga buah kaca berukuran lebar. Satu bisa dibuka, sedang dua lainnya tidak. Kamar itu serba hijau. Gordennya hijau, berkeramik hijau, juga cat temboknya yang berwarna hijau. Isinya, sederhana. Hanya ada sebuah lemari kecil -- yang berisikan beberapa buku dan kaset -- , dan kasur double -- yang bisa ditarik bawahnya-- juga sebuah karpet berukuran sedang.


Sebangunnya dari tidurku, Adzan Dzhuhur berkumandang. Aku bergegas mengambil air wudhu dan.. langsung shalat, berjamaah dengan Riza. Setelahnya, Aku melihat keadaan sekitar rumahnya. It's time to take pictureeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeees!!!!!!


Meskipun tak semua anak berfoto, tapi kebanyakan dari mereka adalah iya. Well, aku ikut bergabung dengan mereka yang sedang berfoto di kolam ikan, meski sesekali menengok ke dalam rumah Arkhan. Media yang kami gunakan untuk berfoto, tak lain adalah yang kami bawa dan kami punyai sendiri. Diantaranya : HP milik Arkhan, Anandika, dan Echa. Dan yang tak pernah terlewatkan :: KAMERA PONDOK!






Puas berfoto, aku kembali menengok keadaan di dalam rumah Arkhan. They were watching a film!!! 'The secret of Moonacre' kubaca judul film itu, yang terpampang di tempak kasetnya. Pemeran utamanya adalah Dakota Blue Richards (Aku lebih mengenal Dakota Fanning daripada dia). Cukup menegangkan, untuk film sekelasnya.




Kami berlomba memasak mie, dengan berbagai kelompok (meskipun akhirnya Ibu Arkhan yang menang..). Aku memilih ikutan nimbrung saja, karena.. jujur! Aku tak bisa memasak! Well, yapp... aku hanya 'memalak' masakan teman-temanku! Untung mereka baik dan mau mengerti. (Hahahahahahaha..). Kami makan dengan... bisa dibilang.. cukup tidak beradab (<-- #dontfollow). Ibu Arkhan memotong buah semangka menjadi beberapa bagian yang agak besar. Setiap anak dapat satu. Kecuali Zarkasih, dia dihitung dua.. =D (jangan marah Oom.. ), juga buah pepaya. Pepaya dipotong kecil-kecil, kami berebutan mengambilnya, seperti sudah tidak bertemu buah-buahan beberapa bulan. =)


Aku kembali mengambil kamera pondok, untuk kembali bergaya. Dengan banyak gaya dan posisi (bukan logay). Hasilnya... GOOD! Eitts.. Ust. Acep menghampiri!!! 'Ah, tak kan salah, pasti mau minta difoto' batinku. "Rhaaa.. pang fotoin doonk!" serunya. Benar dugaanku! "Mau posisi gimana?" (sok iyeh aku). Well, let's take more pictures!! hhahahaha...




Tak terasa, sudah cukup lama kami bermain di sini. Akhirnya, kami berkumpul di ruang TV yang cukup luas untuk mendengarkan beberapa nasihat yang diberikan oleh Bapak Subiyakto, ayah dari Arkhan, juga dari Ust. Kahfi. Tapi apa yang dilakukan oleh anak narsis ini? Dia masih saja terus begaya ria dengan kamera pondok. (siapa lagi selain aku?)


Pemberian nasihat itu pun selesai. Kami berpamitan dan memulai perjalanan. Road to Anandika's Homeeeeeeeee!!


Jalan yang kami lalui sangat terjal, curam, berliku dan becek. Perjalanan yang cukup, bahkan sangat melelahkan. Aku sangat berhati-hati dalam jalanku karena, , , You knew? I wear a white-rample skirt.. Tapi, hasrat kami tuk berfoto, tidak pernah pudar. Hahahahahahahahahaha... So, we got the camera, and took some pictures!


Jalan yang panjang dan beragam.
Jalan kerikil,
Jalan Aspal,
Kebun jagung,
Jalan setapak,
Kebun Bambu,
Sawah,
Kami lewati untuk sampai ke rumah Anandika.
Pengorbanan. (<-- #lebe)


"Heii!! Lihat!! Subhanallah!!! Indahnyaaaaaaaaaaaaaa.." Seru Lulu yang duluan sampai di pesawahan. Kami berlarian penasaran akan perkataan Lulu. "Waaaw.. iya .. Iyaa.. Subhanallah.. " Komentar kami penuh kagum. Di sana sawah terbentang luas, dengan jalan setapak yang bisa dilewati oleh sebuah motor. Udaranya? Tak perlu diragukan, Sangaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaat sejuk. :D "Heiiiii... KAmeraaaaaaaa!!" Seru si Anak narsis, sang penulis cerita ini. =D. "Di sini foto doooooonk!" Seru Putri. Keasyikan berfoto, kami lupa, kami sedang dalam perjalanan menuju rumah Anandika.


"Waoo.. I Like this!!" Komentarku ketika mulai melalui hutan bambu. Kanan-kirinya dipenuhi tumbuhan Bambu, yang memadati Jalan itu, sehingga tampak sesak. Tapi,udara di sana tak kalah sejuknya dengan di pesawahan tadi. Sinar matahari berusaha menerobos 'hutan bambu' yang lebat itu. Tapi ia tak mampu. Hanya beberapa berkas cahaya yang bisa masuk ke sana. Like this road much!


"Weiii!! Liat sini semuanya!! Senyum yaaaaaaaaaaa... Satuu.. duaa.. tigaa!!" seseorang mengarahkan dari belakang. Suara yang kukenal, suara Nurul. Tak mau kehilangan moment ini, Akupun ikut bergabung bersama mereka. "Yahh.. tu kameranya udah low batt.." Ungkap Gisna. Aku meliriknya. YA, tak salah lagi. "Jangan dihabiskan, kita belum berfoto di rumah Anandika" Ujar seseorang -- dont know who --. Kami setuju. Nurul menyimpannya ke tempat semula.


Kami melewati 'hutan' itu dengan lancar. Di penghujungnya, kami bertemu dengan pohon karet. "Heii.. ini teh pohon karet tauu!!" Ujar Gisna. Aku melirik, setengah tak percaya. Ternyata benar. "Heii.. Rha baru sekali ini loh, liat pohon karet yang asli!" Aku jujur. "huuuu.. desooo..." Anak IX Bhe menyorakiku. Jaaah.. aku berkata jujur, kawan!


Tak mau melanjutkan percakapan, takut kami memulai debat yang panjang hingga berakhir dengan peseteruan (yang biasa terjadi di IX B, tapi aku tak mau merusak moment berharga ini). Tak lama kemudian, kami sampai di Rumah Anandika.


Rumahnya terletak di sebuah gang kecil, persis seperti rumah saudaraku yang lama, T'Novrianty. Saat kami sampai, di teras rumahnya sudah terdapat beberapa anak IX B yang sedang beristirahat dan minum. Perjalanan ini memang sangat melelahkan. Aku ikut bergaung, mengambil segelas air putih dan langsung meneguknya hingga habis. Teman-temanku pun tampaknya merasakan hal yang sama denganku.


Kami dipersilahkan masuk oleh Pak Ade (Ayah dari Anandika). Ruang tamu, ruang yang pertama kami masuki. Ruang tamu ini agak sempit, dengan satu set meja kayu bersama kursinya. Di pojoknya terdapat aQuarium yang tingginya melebihi lebarnya, yang kira-kira hanya terdapat dua ekor ikan di sana. Lampunya adalah lampu gantung-hias yang di dalamnya terdapat lima buah lampu. Di selatan, terdapat meja agak panjang, di atasnya terdapat beragai macam hiasan di atasnya, yang cukup unik dan terawat. Di pinggirnya ada pintu. Model pintu yang ada di rumah ini semuanya sama, kecuali pintu menuju kamar mandi dan jemuran, tentu saja.


Setelah membuka pintu ruang tamu itu, kita bisa melihat sebuah ruangan dengan dua set tempat duduk dengan mejanya, cermin unik lemari kaca yang di dalamnya ada berbagai macam barang-barang antik yang terawat, pintu menuju kamar Anandika, jalan menuju dapur, Pintu sebuah kamar, dan sebuah tape.


Satu set kursi di sana, aku tak begitu mengerti apa fungsinya. Tapi cocok dengan ruangannya yang kecil, ukuran satu set kursi itu lebih kecil daripada kursi yang ada di ruang tamu. Di timur kursi itu ada cermin antik, lebih mirip meja rias yang ada cerminnya. Di atas mejanya ada printer dan tiga buah stoples kaca. Di bawahnya ada keyoard, yang sepertinya jarang sekali dimainkan.


Di barat kursi itu ada satu set meja makan, yang agak merapat ke pintu kamar Anandika. Di dekat pintu kamar Dika -- panggilan akrab Anandika -- ada sebuah lemari yang sangat bagus. Bahan dasarnya adalalah kayu jati dan cermin. Di serong kiri lemari itu terdapat sebuah meja yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan Tape. Di sebelahnya ada kamar kosong.


Menuju dapur. Tak seperti ruangan lainnya, dapur sangat kosong dan luas. Tak banyak barang di sana. Hanya ada lemari berwarna abu, lemari es, rak piring, pintu menuju mushalla, lemari agak besar berwarna coklat, wastafel yang disatukan dengan beberapa peralatan, yang ditaruh di tembok berkeramik yang tingginya kira-kira 60 cm. Di depan wastafel itu ada tangga yang curam dan kecil menuju jemuran. Di sebelah selatan, ada WC.


WC-nya bernuansakan hijau. Tempatnya cukup luas. Dari mulai bak sampai lantainya berkeramik hijau. Ada water heater-nya. Ada pula mesin cuci dan cermin kecil di sana.


Beralih menuju kamar Dika. "Dikaaaaaaaaaaa.. Liat kamar kamu ya?!" Pintaku. "Jangan ihh.. kamar saya mah jelek.. " tolaknya. "Hmm.. da Fira mah ga nilai bagus-jeleknyaa.. Cuman pengen tahu, kamar seorang Anandika Zarkasih Suryawinata itu seperti apa sih?" elakku. Akhirnya Dika mempersilakan. "makasihh.." ujarku.


Aku membuka pintu kamarnya, yang bertuliskan dua buah 'Bismillahirrahmanirrahim' (harusnya Assalamu'alaikum, ya?!). Seketika, aku tercengang. Suasana kamar ini.. seperti campuran antara kamarku ketika kelas 4 SD, kamar Alfi, dan Kamar T'Tia. Tata letak kasur dan komputernya, mirip tata letak kasur dan komputerku ketika kelas 4 SD. Kasur yang terpojok, dan komputer terletak di depannya. Di pojok kasur itu ada setumpuk baju, yang sepertinya baru disetrika. (sotoooooooooooooooy banget). Di selatan, ada lemari berpintu tiga yang diatasnya ada banyak barang yang........... cukup berantakan. =). Ada jendela di samping komputer, mengigatkanku pada kamar sahabat karibku saat SD, Alfi Nurfitriani. Kamar itu agak gelap, seperti kamar T'Tia ketika belum direnovasi. Di kanan-kiri pintunya ada foto Valama dan Violita -- Adik kembar Dika --


Aku memerhatikan keadaan kamarnya dengan duduk. "Heii.." tegur Dika. Seolah aku sedang melamunkan sesuatu. "Apa?? Aku gak ngelamun kok.." Balasku. "Ya, saya tahu. Kamar adik saya yang enakeun mah. Liat Geura" Ujarnya. Yep, aku pun menurut, meninggalkan kamarnya.


Tapi, baru selangkah kami meninggalkan kamarnya, Ibu Dika sudah memanggil kami untuk makan sore. "Ayo, makan dulu semuanya, nasinya udah dingin tuh dari tadi..". Aku memutuskan untuk menemui Ust. Acep dan Ust. Kahfi. Aku membujuk -- memaksa , tepatnya -- mereka untuk mengambil makan terlebih dahulu. Mereka masih betah bermain di depan Handphone-nya masing-masing. Bahkan, aku mengancam untuk merampas Handphone mereka jika tak kunjung makan. Tapi, mereka bersikeras dan menyuruk kami makan terlebih dahulu. Yah, apa boleh buat. I'm first! Aku adalah tamu pertama yang menyendokkan nasi ke dalam mulut. Before eating, let's take some pictures!!


Mulai pertama, selesai pertama pula. Aku mengambil gambar mereka, yang masih sibuk dengan makanannya, di ruang TV. Di sana ada TV yang besarnya kurang lebih 27", beserta DVD dan kawan-kawannya. Ada karpet yang cukup besar di sana. Ada sebuah kursi santai yang cukup panjang, berwarna kuning. Di sampingnya ada lemari kaca yang berisikan barang-barang yang unik. Di seberangnya ada lemari kaca, yang seluruhnya berisi boneka. Di samping lemari itu ada satu set meja beserta kursinya, yang bernuansakan warna cerah. Kontras sekali dengan ruangannya yang kecil, kursi itu pun kurus semua, meskipun terbuat dari kayu jati. Di sana terdapat pula tiga buah kaca yang tinggi, lebar dan berteralis, yang membuat cahaya di ruangan itu sangat cukup.


Sri menyusulku setelah ia memberesan makannya. "Hei, piringnya cuci lagi nak." Tegur ust. Acep. Aku dan Sri manggut-manggut. "Rha, anti aja deh yang bilang ke Ibunya Dika.." rayu Sri. "Ih.. apaan siih? Yang tua harus ngalah!"blasku sewot. "Anti kan, PDan, Rha, gak kayak Ana.." tambahnya. Kami ribut sepanjang jalan menuju dapur. Akhirnya aku mengalah, meski aku lebih muda setahun darinya. "Gak capek niih.. nyuci piring banyak?" tanya Ibu Dika sambil tersenyum. "Enggak bu, kita yakin pasti bisa. Lagipula, nanti gantian kok.." tuturku. Sri hanya cengar-cengir.


And we're just started! Kami mencuci piring, sambil memperhatikan dapur. Agar tak bosan, tentunya. Piring yang harus kami cuci benar-benar sangat banyak. Di atas (above) wastafel ini, ada rak panjang berwarna coklat, yang sepertinya berfungsi untuk menaruh gelas tamu. Di sejajaran wastafel ini terdapat susu, kopi, gula, garam, dan sebagainya. Juga kompor, toaster, blender.


Setengah jalan kucuci piring-piring itu. Pekerjaanku digantikan oleh Ressa. Aku menghampiri teman-teman yang berada di ruang TV, yang sepertinya sedang serius menonton sebuah film. Hei aku tahu! Itu film Saw!! Aku bergidik melihatnya. Jadi, aku memutuskan menerima tawaran Dika untuk melihat kamar adik kembarnya.


"Ka, masuk ya?" pintaku pada Dika. Ia hanya mengangguk, pertanda iya. Aku memasuki kamar itu, dibuntuti oleh Wafa. "Hei! Ada kucing!" seruku histeris ketika menemukan dua gambar kucing di meja belajar Valama dan Violita. Aku yakin, mereka pasti suka kucing. Dan Wafa, tentu saja ia menjerit, lebih histeris daripada jeritanku. Teman-teman menoleh dan bertanya-tanya. Aku hanya nyengir. "Itu hanya foto kucing.." jawabku, tanpa dosa. Keseriusan mereka menonton, terganggu, tapi mereka malah terbahak, melihat kejadianku dan Wafa tadi. "Ah.. anti mah.. kirain teh beneran kucing.. Malu tauu.." kata Wafa. "Iya deh.. maaf.. Rha kan lupa kalau Wafa takut kucing.. lagian Rha sukaaaaaaaaaaaaaaaa banget ama kucing. =)" balasku sekenanya. Kami melanjutkan menjelajahi kamar itu.


Spring bed berukuran besar, karena Valama dan Violita tidur bersama di kasur itu. Satu meja belajar. Dan sisanya, semua ada dua! Tas dua, Lemari dua, Mainan dua, boneka dua, Rubik dua.. yah.. itulah anak kembar. Harus adil. Baju yang mereka kenakan pun, saat kami datang ke sana, sama. Tapi, aku tak bisa membedakan, mana Valama dan Violita. Di dekat jendela, ada foto Dika bersama kedua adiknya. Aku memerhatikannya. "Sepertinya, Dika benar-benar sayang pada kedua adiknya. =)" gumamku.


Puas menjelajahi kamar Valama dan Violita yang memang lebih bagus dari kamar Anandika, Aku bergabung dengan Nurul yang sedang berfoto. Sedangkan Wafa, ia memilih bergabung dengan teman-teman yang sepertinya sudah berganti film tontonan mereka. Aku dan Nurul berfoto di depan cermin yang lebar. Tiba-tiba, Nurul menyadari sesuatu. "Hei.. kita kucel ya?!" serunya. Aku memandang cermin. "Nggak begitu. Mau cuci muka dulu?" tanyaku. "Boleh.." balasnya. Jadilah aku dan Nurul pergi ke kamar mandi sembari membawa pencuci muka kami masing-masing.


Berfoto di sekeliling rumah itu, yang kulakukan bersama Nurul sembari menunggu waktu pulang. Di kamar mandi, di tangga jemuran, di dapur, di kamar Anandika, di ruang tengah, di ruang TV, bersama banyak boneka, milik Valama dan Violita. Ramdan , Paula dan Mustika ikut bergaya, sementara aku memilih melihat-lihat boneka yang Valama dan Violita punya, di lemari berwarna hitam. Hei, aku menemukan sebuah bola kaca yang berwarna kuning. Indah sekali! Lantas, aku mengambilnya. Tapi, Upz! tak seringan yang kukira! Dika menghampiriku. Aku nyengir. "Pinjem, ya?! bagus niih.. mau Rha foto.. " ujarku. Dika mengangguk. "Hei, di sini juga ada emas batang looh.." balasnya. "oiya?!" aku tak percaya. Ia mengambilnya dari lemari paling atas. "Waw.. Amzing!" Tukasu. Dika tersenyum. "Darimana kau dapatkan ini?" tanyaku, mengintrogasi. "Gak tahu, ayah saya tuh.." balasnya seadanya. Dika pun mengambil emas itu dari tanganku.


(kurang) puas berfoto, Ust. Kahfi berseru.. "Anak-anaak.. waktunya pulang.. ayoo.. angkot akan datang.." "Gak mauu.. Ustaaaaaaadz.. masih betah di sini.." sahut mereka, yang sedang menonton. Aku hanya tertawa mendengarnya. "Ayo, nanti keburu sore. Tuh, lihat, sebbentar lagi mau hujaan!" ajaknya lagi. IX B bersikeras, masih betah di rumah Anandika, karena memang kebanyakan dari kami sedang menonton,dengan khusu'nya.


Setelah perdebatan yang sebentar (bagi IX B), kami mengalah, dan segera turun ke bawah. Kami meninggalkan rumah Anandika dengan.. berantakan! Aku hanya meletakan boneka kembar winnie the pooh pada tempatnya dan mengingatkan teman-teman. Tapi mereka tak mengindahkan. Ah.. aku kasihan pada Ibunya Dika, yang harus membereskan.


Menemui angkot dan memasukinya. Hei, bersama siapakah Ihza? ia dengan seseorang.. sepertinya ana Al-Aqsha.. Dia mengendarai motor dan berhelm.. dia.. Meilan! "ckckck.. Meilan ya?!" seruku di dalam angkot, menunjuk pada Meilan. Yang lain memperhatikan. "Iya.. orang mana sih Meilan?" tanya Gisna. "Itu tuh.. deket IPDN.. um.. dimana ya?? gatau ketang.." jawab Dini, ta pasti. "Berani banget naik motor ke sini.." komentarku. Mereka manggut-manggut. "Padahal sudah sore.. jalanan licin.. dan .." kata Siti Sarah. "Dan apa?" tanya Nabilah penasaran "Dan sebagainya.. hehehehe.. " sambungnya. Serentak kami tertawa, bersama.






Tak ada yang membuatku pening hari itu, kecuali saat perjalanan menuju rumah Arkhan.
Tak ada yang membuatku lelah hari itu, kecuali saat perjalanan menuju rumah Anandika.
Tak ada yang membuatku lega hari itu, kecuali saat beristirahat di rumah Arkhan.
Tak ada yang membuatku senang di rumah itu, kecuali saat bermain di rumah Arkhan dan Anandika.
Dan..


Tak ada yang membuatku bahagia, selamanya, selain selalu bersama keluargaku, Sahabatku, dan temanku..


I LOVE YOU FULL NINE BHE!!!!!!!


Finished : 30 Des '10; 11 : 32 PM

2 komentar:

  1. hebaaaaat kak, aku pengen kaya kakak, aku tau blog kakak dari tabloid suaka, salam kenal kak :)

    BalasHapus

Aku jarang balas komentar di sini, kalau mau jawaban yang fast response boleh DM ke Instagramku (atau twitter) di @safiranys ya!

COPYRIGHT © 2017 · SAFIRA NYS | THEME BY RUMAH ES