Jumat, 13 Juni 2014

Apa kabar dunia?

Sebagai anak yang baru saja lulus SMA dan sudah diterima di salah satu perguruan tinggi, kurang lebih kerjaan saya di rumah hanya sekedar bermalas-malasan selain membantu Bunda sesekali, atau mengisengi adik-adik saya. Jujur, sebenarnya saya jenuh melakukan hal yang itu-itu saja. Saya sudah lama tidak berkeliling kota dengan tujuan yang tidak jelas, hanya untuk berkangen-kangen ria dengan kota ini. Atau, untuk melihat sendiri apa kabarnya kota ini. Ya, apa bedanya sih dengan berkangen-kangen?
Sudahlah.

Rabu (6/11) kemarin, saya memutuskan pergi seorang diri ke Gramedia Merdeka, dengan tujuan awal membeli beberapa buku. Dan yang saya beli hanya dua, sehubungan dengan minat saya akhir-akhir ini. Dan, saya cukup kaget, menyadari sudah sangat lama saya tidak berkunjung ke tempat tersebut. Rak majalah sudah digantikan rak DVD/VCD, dan mungkin karena itu hari Rabu, petugas Gramed pun memakai iket sunda, juga batik. Sayangnya saya tidak mengambil foto, terlalu sibuk menghirup udara padat Gramedia Merdeka ini.

Rak-rak bukunya juga disusun ulang, di mana dulu ada sudut yang khusus untuk sastra, kini berubah menjadi sudut buku untuk anak-anak. Koleksinya bertambah banyak, tapi tetap saja di sudut itu sepinya tak berubah. Saya jadi heran. Ini anak jaman sekarang yang sudah tidak tertarik sastra, atau anak kecil yang sudah tidak minat membaca, atau bagaimana? Atau dua duanya?
Sungguh disayangkan.


Foto di atas saya ambil sekitar dua tahun yang lalu, di mana sudut tersebut masih menjadi sudut sastra.
Yang tak berubah hanyalah sepinya.

Puas menelusuri sudut Gramedia Merdeka, saya menyebrang, lalu memasuki sebuah mall. Menaiki lantai demi lantai menuju foodcourt. Dan saya tidak pernah tahu bahwa mall ini selalu penuh tiap waktu, bukan di hari libur sekalipun. Atau mungin karena ini jam makan siang? Banyak sekali anak sekolah yang duduk di foodcourt ini, entah itu sekedar nongkrong atau juga sekaligus makan siang.

Kemudian saya melamun.

Mereka diberi uang sebanyak apa oleh orangtuanya? Apa setiap hari seperti ini atau bagaimana? Padahal setahu saya juga, hari itu ujian kenaikan kelas sedang berlangsung, tetapi mereka dengan asiknya bertukar psp dan iPad. Sebagai siswa yang tinggal di asrama, tentu saya merasakan hal yang sama, malas belajar. Tapi, pergi ke mall sepulang sekolah hanya untuk nongkrong?
Apa poinnya?
Apa jadinya dengan penerus bangsa kita nanti?
Tapi, saya juga menekankan diri untuk tidak berprasangka buruk setelahnya. Mungkin saja mereka sedang kerja kelompok, belajar TIK. Atau UKK mereka sudah beres, dan ini waktunya bersenang-senang. Atau, yang lainnya. Banyak hal yang mungkin terjadi. Dan berprasangka buruk itu seharusnya dikurangi. Kesehatanmu itu loh, nak.

Setelah puas jajan di salah satu stand, saya kembali melihat keadaan mall yang tambah sesak dengan orang-orang. Keadaan mall yang tertutup dan memiliki langit-langit yang standar, membuat saya muak. Saya akhirnya memutuskan untuk berjalan ke supermarket yang terletak di lantai bawah untuk membeli kebutuhan saya. Tiba-tiba saja, seorang mbak-mbak mencegat saya. Mungkin karena saya berjalan sendirian dan membawa ransel, mbak-mbak itu akhirnya mencegat saya yang tidak punya teman bicara. Mbak-mbak WWF.

Well, how? Saya hanya mengatakan hal yang sejujurnya dan mbak-mbak itu memuji saya habis-habisan. Apa mbak ini tidak menemukan orang seperti saya sebelumnya?

Mbak-mbak ini menanyakan pada saya upaya apa saja yang saya bantu untuk melestarikan lingkungan? Jujur, saya menggeleng, tidak tahu. 'Kalau begitu, sini Winda bantu tanya ya.' Mbak-mbak itu bernama Winda. Saya mengangguk. 'Mbak kalo ke sekolah suka naik umum atau kendaraan pribadi?' saya jawab, 'Umum.' Mbaknya tersenyum. 'Mbak kalau pergi-pergi lebih suka bawa tumblr atau beli minuman?' saya jawab, 'Saya usahakan selalu bawa tumblr selagi sempat, kadang juga bekal makan.' Mbak-mbaknya tersenyum. 'Mbak kalau buang sampah, suka dilempar begitu aja?' Saya jawab, 'Nggak pernah. Saya benci buang sampah sembarangan.' Mbaknya tersenyum lebih lebar, matanya berbinar. 'Mbak kalau belanja ke suatu tempat dan beli itemnya dikit, suka nggak sih menolak pake kantong plastik?' Saya jawab 'Sering, tapi tidak selalu, karena ada beberapa hal yg harus dipisahkan dari isi tas, kardus sepatu misalnya. Selain itu, saya selalu tolak. Apa lagi mbak? Saya selalu mematikan lampu kalau tidur. Saya tidak pernah lupa mencabut charger hape kalau batrenya sudah penuh.' Mbaknya tersenyum lebih lebar lagi.

'Mbak, ternyata sudah banyak banget kan yang mbak lakukan untuk melestarikan alam ini. Secara kita tidak sadari, hal-hal itulah yang seharusnya kita lakukan, memang. Jangan pernah berhenti melakukannya ya, mbak. Hal sekecil apapun, pasti akan ada dampaknya. Hal baik yang mbak lakukan ini tidak akan hanya berdampak pada mbak sendiri, semoga bermanfaat bagi yang lainnya.'

Saya tersenyum, lalu pamit. Berdoa, semoga saja saya bukan satu-satunya orang yang diberi senyum lebar dan mata berbinar oleh mbak-mbak itu.

Satu hal lagi yang berbeda dari mall ini adalah, pintunya. Jika kemarin-kemarin kita bisa masuk keluar lewat pintu mana saja (pintu utama ada dua), sekarang penjaga nya lebih tegas menyuruh kita tertib. Saya sempat kaget, tapi salut. Oh ya, petugas Gramedia Merdeka juga lebih tegas untuk melarang kita duduk di lantai. Reaksi saya sama, sempat kaget tetapi salut. Akhirnya.

Beberapa menit kemudian, pacar saya yang pulang kuliah menjemput saya tepat di gerbang mall. Setelah berdiskusi beberapa menit akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke PVJ. Jalanan cukup padat hari itu, dan dengan isengnya Reza ini, dia malah membawa saya kebut-kebutan. Padahal saya naik motor saja jarang. Banyak hal yang bisa dirasakan ketika naik motor, berbeda dengan naik umum atau mobil pribadi. Saya bisa mendengar lempengan besi dari bawah jembatan Pasupati. Bisa merasakan angin mendengung di telinga. Bisa menikmati deru motor. Bisa merasakan dan menyentuh segala sesuatu yang selama ini saya hanya lihat di balik kaca. Bisa juga mendengar degup jantung sendiri.

Ahahahahaahhaa. Baiklah. Kami sampai di PVJ.

It has been years since my last time, serius deh saya udah lama banget nggak pernah ke tempat ini lagi. Selain keluarga saya yang memang jarang jalan-jalan, PVJ itu jauh sekali dari rumah saya. Dan lagi, saya baru tau parkir motornya di mana. Kami mengira-ngira tempat mana yang sekiranya pas untuk memarkir motor agar tidak basah kalau-kalau turun hujan. Di atas parkiran ini sedang diperbaiki, ada lubang di mana-mana. Saya jadi membayangkan kalau Indonesia memutuskan membuat kereta bawah tanah, apakah akan seperti ini? Tapi tetap saja, saya tidak bisa membayangkannya.

Tidak banyak hal yang kami lakukan selain berjalan, melihat-lihat, mengobrol, curhat, tertawa, dan saling mengusili. Tapi rasanya saya melihat banyak hal baru di hari itu. Termasuk tentang kecintaan saya pada angin.

Di sebuah tempat, setelah kami saling bercerita, saya menatap lurus pada pemandangan dan menikmati angin menerpa wajah saya, saya bilang saya suka kalau ada angin. Reza membalas saya, 'Ya sih, angin enak. Tau-tau aja itu debu sama polusi doang, kotor tau.' Ya, perkataan dia ada benarnya juga. Saya nggak pernah kepikiran sedikitpun tentang angin yang saya selalu sukai ini, ternyata nggak selamanya bagus dan bermanfaat. Ya, terkadang kita butuh seseorang untuk menyadari hal yang tidak kita sadari.

Tak lama kemudian, langit menggelap dan guntur menyambar. Hujan angin yang besar pun tiba, memberondong bangunan ini dengan ganasnya. Kami bingung, sangat tidak memungkinkan kalau menembus hujan angin yang sangat besar begini. Akhirnya kami memutuskan untuk berteduh di tempat yang aman, sampai hujan besar ini melunak.

Sampai akhirnya kami memutuskan untuk pulang.

Parkiran yang kami kira aman tadi, sudah dipenuhi air, tidak hanya dari atas saja. Dari berbagai tempat, bahkan ada yang mengalir dari jalanan. Ini yang saya bayangkan.

Apa kabar Indonesia kalau punya kereta bawah tanah?

Mungkin, jalanan tidak akan banjir. Tetapi air yang kotor itu akan memenuhi stasiun kereta bawah tanah, memenuhi sepanjang rel, dari stasiun ke stasiun. Merendam kereta, dengan sampah dimana-mana. Saya akui, Bandung sekarang tidak begitu kotor seperti sebelumnya. Tapi apalah daya kalau kita bergantung pada tukang bersih-bersih? Kenapa tidak ada sedikit rasa memiliki untuk menjaga kota sendiri?

Percayalah, satu bekas puntung rokok yang dilempar sembarangan, satu sobekan plastik yang dibuang di mana saja, satu bekas minuman yang dilempar ke jalanan, akan berdampak pada segalanya.
Bayangkan, kalau semua orang melakukannya.

Seperti macetnya kota ini.

Dari belakang ini saya memperhatikan banyak sekali pengendara motor dan mobil pribadi yang berjalan searah. Ada pula angkot. Saya pernah membahas perihal angkot ini bersama Reza. Dan dia tidak setuju dengan angkot, menurutnya angkot bukan kendaraan umum yang layak. Hari di mana ia berkata seperti itu, saya kurang setuju dengannya. Tapi hari di mana saya duduk di motornya, saya jadi setuju dengan pernyataannya.

Masalah angkot adalah, hanya bisa memuat sedikit penumpang, dan tidak berdampak banyak pada kemacetan lalu lintas kalaupun banyak orang yang berminat menaiki angkot, karena angkot itu sendiri pun tetap berjumlah sangat banyak. Berbeda kalau yang disediakan adalah bus yang nyaman, besar, dengan rute yang memadai. Memuat lebih banyak penumpang, lebih nyaman. Dan terkadang, masalahnya juga ada di kita. Seberapa sabar kita menaiki angkutan umum yang begitu padat dan sering lama diam mencari penumpang? Seberapa ingin kita mengurangi kemacetan lalu lintas?

Jujur, saya pun lebih senang dengan kendaraan umum, kalau memadai. Dan aman. Dunia makin tidak bisa dimengerti, kejahatan dimana-mana tanpa bisa diprediksikan. Dan Reza memutuskan mengantar saya pulang. Mengendarai motor selama hampir dua jam, belum lagi jalan pulangnya.

Selamat tanggal 13, Reza.

7 komentar:

  1. Ah, aku suka membaca kak. Kalau bisa, ya di rumah ini ada lemari bukunya sendiri duh. :3

    Kalau Indonesia punya kereta bawah tanah? Ya, gapapa. Kali aja Indonesia menjadi lebih baik yakan, kak. Lebih baik disebarkan secara merata.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Orang orang yang senang membaca seperti kita harus dilestarikan ^^

      Bisa jadi, tapi masyarakatnya harus dibenahi dulu dengan rasa tanggungjawab dan memiliki negri. Kalau kata saya, sih xD

      Hapus
  2. Kereta bawah tanah, mungkin nggak mungkin sih, tapo tetep positif aja :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, kita harus tetap mendoakan yang terbaik saja ya :)

      Hapus
  3. sepertinya mau dibuat oeh presiden terpilih, hehe

    BalasHapus

Aku jarang balas komentar di sini, kalau mau jawaban yang fast response boleh DM ke Instagramku (atau twitter) di @safiranys ya!

COPYRIGHT © 2017 · SAFIRA NYS | THEME BY RUMAH ES