Kebanyakan orang yang kuliah itu pindah kota, beradaptasi dari nol, merasa asing, dan lain sebagainya. Tetapi tidak dengan saya. Saya lahir di Bandung, setengah besar di Bandung pula. Kuliah di Bandung, jadi bukan masalah bagi saya. Selama ini saya memang sekolah asrama bukan di Bandung, tapi bagi saya tidak ada perbedaan yang berarti dalam masalah kebudayaan di antara kota yang saya tinggali.
Kampus yang saya masuki pun bukan kampus yang samasekali baru. Ayah saya salah satu staf di kampus, ibu saya mengikuti kuliah S2 di kampus, bahkan dosen pun banyak yang merupakan tetangga saya. Dosen, ketua jurusan, dekan, ada saja yang kenal. Bapaknya temen SD lah, tetangga RT sebelah lah, ibu yang juga usaha konfeksi lah, pokoknya, sudah tidak aneh. Dari umur saya masih hitungan jari pun, saya sudah sering menginjak kampus tersebut.
Tapi, bukan berarti saya tidak perlu adaptasi.
Masalah terbesar yang saya hadapi sekarang adalah, tinggal serumah dengan keluarga.
Enam tahun tinggal di sekolah asrama dengan teman-teman yang umurnya tidak jauh beda dan jumlahnya banyak, rasanya beda sekali dengan hidup bersama keluarga, terlebih saya punya adik. Hidup di asrama itu lebih mudah menurut saya, karena bebas dan juga tinggal mengurusi diri sendiri. Tidak perlu bertanggungjawab untuk orang lain. Adik saya pun masih kecil-kecil, ya bagaimana lagi.
Tapi, kalau tidak pernah belajar memang tidak akan tahu. Suatu hari nanti pun saya pasti akan menikah, dan memiliki anak. Saya harus bertanggungjawab sepenuhnya untuk anak tersebut, dan yang pasti, tidak boleh egois.
Ya, saya memang termasuk orang yang sangat egois. Keuntungan dari sikap egois, adalah jarang bergosip. Memang, saya tidak tahu banyak kabar burung yang beredar di sekeliling saya. Tapi, dengan tidak tahu itulah, saya menjadi sangat acuh. Saya bahkan tidak punya teman dekat yang benar-benar tahu bagaimana saya, kecuali pacar saya.
Saya jarang memperhatikan keadaan yang sangat dekat di sekitar saya, tapi saya senang sekali mengamati Indonesia secara umum. Aneh, memang, bahkan saya saja tidak mengerti kenapa. Dulu sekali, saya pernah membuat tulisan tentang Indonesia yang bahkan, kakak kelas pun mengomentari; 'Kalau saja ada sepuluh orang seperti kamu di Indonesia ini, mungkin Indonesia akan berubah.'
Dan saya sadar hari ini, perkataan beliau itu salah besar.
Saya cuma bisa menulis, hanya menulis dari apa yang saya pikirkan. Melakukan, saya tidak pernah melakukan hal yang benar-benar bisa membantu orang lain. Saya ini sangat ceroboh, membantu diri sendiri saja sering kewalahan. Saya hanya melakukan apa yang bisa saya lakukan. Hal-hal kecil seperti tidak membuang sampah sembarangan, tidak mengendarai motor karena belum punya SIM, menghemat air dan listrik, bagi saya itu adalah bentuk dari menolong diri sendiri. Saya tidak bisa berbuat hal lain selain hanya mematuhi aturan. Karena mematuhi aturan saja sudah sulit, saya tidak tahu cara untuk bahkan merubah Indonesia.
Ya, mematuhi aturan itu memang sulit untuk orang yang tidak ikhlas dan tidak terpelajar.
Contoh kecil saja, saya sekarang bukannya mengerjakan tugas yang tinggal 20%, rasanya malas sekali. Sedikit besar saya mengakui saya tidak ikhlas mengerjakannya. Karena, malas. Belum tumbuh rasa cinta terhadap ilmu yang ditekuni, padahal itu adalah kewajiban seorang mahasiswa. Saya kehilangan identitas saya sebagai mahasiswa yang sejati. Atau, saya hanya belum menemukan identitas saya karena semua ini baru saja mulai.
Mengenai hal ini, saya jadi ingat kata-kata pak Dedi Mulyadi ketika diundang menjadi pembicara di acara OPAK (a.k.a OSPEK) di universitas. 'Manusia itu kalau tidak ikhlas, tidak bertuhan. Buat apa mengakui beragama, kalau kerja saja masih mengeluh? Kamu kerja itu untuk cuma dapat uang, bukan untuk Tuhan, kan?'
Ya, benar juga. Kita kehilangan identitas kita sebagai pekerja.
'Coba kalian lihat, orang Jepang di sana. Orang Jepang, buat garam saja ibadah. Mereka ikhlas, mereka tekun, mereka cinta. Lihat saja, cuma bikin garam tapi garam berkualitas, diimpor, banyak gizinya, dikonsumsi masyarakat luas, dan akhirnya bermanfaat bagi umat. Dengan begitu saja sudah jadi orang yang bermanfaat bagi orang lain, orang yang bertuhan!'
Ya, benar.
Yang bahkan dalam bekerja pun, mereka tidak kehilangan kreatifitas mereka dan identitas mereka sebagai orang Jepang.
Jujur, saya iri sekali dengan mereka. Apa yang bisa menumbuhkan cinta dan semangat mereka, saya ingin sekali dapat. Jawabannya bukan di mana-mana, kita semua pun sudah sama-sama tahu. Terdidik. Mereka terdidik dengan baik hingga bahkan mereka bisa mencintai apa yang mereka kerjakan, mereka mampu mendalami apa yang mereka pahami, mereka sadar mereka bisa bermanfaat bagi orang sekitarnya.
Saya pun, ingin seperti itu.
Saya juga tahu, saya bukan orang yang mampu menulis dengan struktur yang baik, maka bahasan menjadi loncat kesana-kemari. Setidaknya, ini adalah inti dari kunjungan saya ke kampus selama seminggu terakhir, juga sebagai anak dalam sebuah keluarga.
Kampus yang saya masuki pun bukan kampus yang samasekali baru. Ayah saya salah satu staf di kampus, ibu saya mengikuti kuliah S2 di kampus, bahkan dosen pun banyak yang merupakan tetangga saya. Dosen, ketua jurusan, dekan, ada saja yang kenal. Bapaknya temen SD lah, tetangga RT sebelah lah, ibu yang juga usaha konfeksi lah, pokoknya, sudah tidak aneh. Dari umur saya masih hitungan jari pun, saya sudah sering menginjak kampus tersebut.
Tapi, bukan berarti saya tidak perlu adaptasi.
Masalah terbesar yang saya hadapi sekarang adalah, tinggal serumah dengan keluarga.
Enam tahun tinggal di sekolah asrama dengan teman-teman yang umurnya tidak jauh beda dan jumlahnya banyak, rasanya beda sekali dengan hidup bersama keluarga, terlebih saya punya adik. Hidup di asrama itu lebih mudah menurut saya, karena bebas dan juga tinggal mengurusi diri sendiri. Tidak perlu bertanggungjawab untuk orang lain. Adik saya pun masih kecil-kecil, ya bagaimana lagi.
Tapi, kalau tidak pernah belajar memang tidak akan tahu. Suatu hari nanti pun saya pasti akan menikah, dan memiliki anak. Saya harus bertanggungjawab sepenuhnya untuk anak tersebut, dan yang pasti, tidak boleh egois.
Ya, saya memang termasuk orang yang sangat egois. Keuntungan dari sikap egois, adalah jarang bergosip. Memang, saya tidak tahu banyak kabar burung yang beredar di sekeliling saya. Tapi, dengan tidak tahu itulah, saya menjadi sangat acuh. Saya bahkan tidak punya teman dekat yang benar-benar tahu bagaimana saya, kecuali pacar saya.
Saya jarang memperhatikan keadaan yang sangat dekat di sekitar saya, tapi saya senang sekali mengamati Indonesia secara umum. Aneh, memang, bahkan saya saja tidak mengerti kenapa. Dulu sekali, saya pernah membuat tulisan tentang Indonesia yang bahkan, kakak kelas pun mengomentari; 'Kalau saja ada sepuluh orang seperti kamu di Indonesia ini, mungkin Indonesia akan berubah.'
Dan saya sadar hari ini, perkataan beliau itu salah besar.
Saya cuma bisa menulis, hanya menulis dari apa yang saya pikirkan. Melakukan, saya tidak pernah melakukan hal yang benar-benar bisa membantu orang lain. Saya ini sangat ceroboh, membantu diri sendiri saja sering kewalahan. Saya hanya melakukan apa yang bisa saya lakukan. Hal-hal kecil seperti tidak membuang sampah sembarangan, tidak mengendarai motor karena belum punya SIM, menghemat air dan listrik, bagi saya itu adalah bentuk dari menolong diri sendiri. Saya tidak bisa berbuat hal lain selain hanya mematuhi aturan. Karena mematuhi aturan saja sudah sulit, saya tidak tahu cara untuk bahkan merubah Indonesia.
Ya, mematuhi aturan itu memang sulit untuk orang yang tidak ikhlas dan tidak terpelajar.
Contoh kecil saja, saya sekarang bukannya mengerjakan tugas yang tinggal 20%, rasanya malas sekali. Sedikit besar saya mengakui saya tidak ikhlas mengerjakannya. Karena, malas. Belum tumbuh rasa cinta terhadap ilmu yang ditekuni, padahal itu adalah kewajiban seorang mahasiswa. Saya kehilangan identitas saya sebagai mahasiswa yang sejati. Atau, saya hanya belum menemukan identitas saya karena semua ini baru saja mulai.
Mengenai hal ini, saya jadi ingat kata-kata pak Dedi Mulyadi ketika diundang menjadi pembicara di acara OPAK (a.k.a OSPEK) di universitas. 'Manusia itu kalau tidak ikhlas, tidak bertuhan. Buat apa mengakui beragama, kalau kerja saja masih mengeluh? Kamu kerja itu untuk cuma dapat uang, bukan untuk Tuhan, kan?'
Ya, benar juga. Kita kehilangan identitas kita sebagai pekerja.
'Coba kalian lihat, orang Jepang di sana. Orang Jepang, buat garam saja ibadah. Mereka ikhlas, mereka tekun, mereka cinta. Lihat saja, cuma bikin garam tapi garam berkualitas, diimpor, banyak gizinya, dikonsumsi masyarakat luas, dan akhirnya bermanfaat bagi umat. Dengan begitu saja sudah jadi orang yang bermanfaat bagi orang lain, orang yang bertuhan!'
Ya, benar.
Yang bahkan dalam bekerja pun, mereka tidak kehilangan kreatifitas mereka dan identitas mereka sebagai orang Jepang.
source |
Saya pun, ingin seperti itu.
Saya juga tahu, saya bukan orang yang mampu menulis dengan struktur yang baik, maka bahasan menjadi loncat kesana-kemari. Setidaknya, ini adalah inti dari kunjungan saya ke kampus selama seminggu terakhir, juga sebagai anak dalam sebuah keluarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Aku jarang balas komentar di sini, kalau mau jawaban yang fast response boleh DM ke Instagramku (atau twitter) di @safiranys ya!