Minggu, 26 Oktober 2014

Patung Lilin

Hari ini, saya pergi naik kereta dari Padalarang menuju Cimekar. Lama sekali rasanya tidak naik kereta, tahu-tahu jadwal sudah berubah dan interior stasiun menjadi lebih berwarna. Lama sekali, tidak berdesakan mengantri tiket kereta. Terakhir saya naik kereta, memang lengang dan tidak berdesakan. Tapi jadwal kereta sore sepertinya memang selalu penuh.

Melihat ke sisi lainnya, hanya untuk menghirup udara segar dari sesak. 

Terakhir naik kereta, saya duduk di sisi kanan. Di sisi pintu gerbong yang menghadap Selatan. Sekarang, saya mencoba duduk di sisi kiri, sebaliknya.

Yang saya ingat, terakhir naik kereta, sepanjang jalan Padalarang-Gadobangkong itu tidak banyak pemukiman, hanya banyak rerumputan dan sampah. Yang paling parah ya tidak usah ditanya, daerah Andir sumpek dan baunya sudah minta ampun. Sisanya, pemandangan yang bisa dilihat adalah sedikit sawah, banyak pemukiman, dan lebih banyak lagi sampah yang berserakan.

Saya jadi teringat beberapa waktu lalu ketika naik mobil bersama nenek. Melalui jalan tol. Nenek saya orangnya memang sarkas dan suka bercanda deket-deket serius, jadi inilah percakapan yang terjadi:
Ibu: 'Ih, dulu di sepanjang jalan tol mah sawah doang. Sekarang udah jadi banyak komplek.'
Nenek: 'Ya, mungkin orang-orang sekarang udah gak mau makan nasi. Asal bisa tinggal aja.'

Dan, seisi mobil langsung diam. Iya juga. Penduduk makin banyak, pemukiman diperbanyak tanpa memikirkan bahan makanan pokok kita. Sawah dibabat habis jadi perumahan. Harga perumahan murah, bahan pokok makin naik karena semakin langka. Ya, memang tidak bisa dimengerti pemikiran manusia itu.

Saya kembali menghela napas, kereta yang saya naiki belum juga berangkat. Seorang ibu dan tiga anaknya mengisi kekosongan bangku di sebelah dan sebrang saya. Saya hanya tersenyum sekilas, lantas mengeluarkan novel. Menunggu kereta berangkat.

Ibu yang duduk di sebelah saya, menggendong bayi kecil. Kira-kira belum sampai lima bulan usianya. Di sebrang kami duduk dua anak lainnya. Yang satu sekitar kelas tiga SD, yang satu lagi kelihatannya masih TK. Namanya anak kecil, dua anak di sebrang saya itu tidak bisa diam. Berebut melihat jendela. Ibu mereka melerai, di luar memang ada apa, tidak ada yang menarik, katanya.

Beberapa menit kemudian, kereta berjalan. Saya berhenti memasukkan novel dan mulai melihat ke luar. Sampai muka saya menempel di kaca, membuat kaca tersebut berembun. Ibu di sebelah saya menghela napas. Kelakuan saya tentu saja diikuti oleh kedua anak sang ibu yang lelah. Mungkin beliau berpikir, buat apa juga saya melihat ke luar.

Saya memang orangnya penasaran dan suka berkomentar, bu.

Saya baru tahu di sebrang sana ada pemukiman. Di kaki bukit. Karena pemukiman tersebut jalannya sangat menanjak. Banyak orang berlalu-lalang, menunggu kereta lewat. Hanya karena ingin melihat, atau memang menunggu karena ingin menyebrang. Saya ingin sekali tahu rasanya hidup di sana.

Dua menit kemudian, pemukiman semakin naik dan tak terlihat. Saya memperhatikan apa yang segaris dengan mata saya. Sampah. Yang tertimbun di tanah. Yang berserakan. Yang kelihatannya baru saja dilempar. Yang kelihatannya ada yang berusaha membakar. Yang mengundang lalat berkeliaran.

Sebenarnya, bukan hal aneh. Ketika di stasiun pun, hal yang lumrah melihat penumpang membuang sampah sembarangan. Meskipun hati ini dongkol, bagaimanalah. Kalau saya menegur, reaksi warga pasti sewot. "Biarkan saja kan sudah ada yang mengurusi sampah!" atau, "Buat apa kamu ceramahi?" atau, "Memangnya kamu duta WWF?". Ya, jangankan warga yang sedang keruh suasana hatinya menanti kereta datang. Sama teman pun ketika suasana senang, ada saja yang begitu.

Saya kemudian berpikir, 'Kok bisa ya masyarakat Indonesia ngga berpikir tentang kebersihan. Kemandirian. Dipikirnya ada orang terus buat mengurusi sesuatu hal. Dipikirnya sampah itu barang tinggal buang terus tidak menimbulkan masalah lain.'

Kalau dipikir lagi melihat masyarakat kita, mungkin menuruti nenek moyang. Kebiasaan masyarakat kita yang buruk adalah, 'Da dari sananya juga begitu', 'Orang lain juga begitu'.

Nenek moyang kita yang dulu buang sampah langsung lempar dimana saja, yowis itu kan dulu. Dulu mana adalah sampah macam plastik, beling, kertas. Yang ada sampah kulit buah-buahan, ampas sayuran, yang bisa berdaur ulang sendiri. Yang menjadi makanan buat cacing di bawah. Yang kembali lagi baiknya, bisa jadi kompos.

Lah orang sekarang macam mana aja ga tau diri. Plastik tuh bahan darimana? Beling tuh asalnya apa? Dipikirnya bisa musnah dan berakibat baik buat sendirinya lagi?

Nggak.

Jaman dulu, orang nggak butuh banyak tong sampah wong mereka bergantung sama alam. Hidup nggak neko-neko. Makan saja sama sayur, sama buah. Daging sekali-kali aja kalo ada acara hajatan besar. Boro-boro jajan, ya cemilan masak aja di rumah. Cireng, comro, bala-bala, bikin semuanya sendiri. Masak nggak pake gas. Sudah nebang pohon, tanam yang baru lagi. Air bersih nggak usah beli. Sungai nggak ada yang cemari. Mau sayuran, tanam sendiri di kebun. Rempah-rempah, ngga usah ditanya. Setiap rumah seenggaknya punya dua macam tanaman rempah-rempah.

Orang jaman sekarang, sudah terlalu bergantung dengan teknologi. Apa-apa ingin yang praktis. Ingin makan daging tanpa perlu potong, olahan daging sudah banyak di supermarket. Ingin rempah-rempah langsung jadi, banyak bumbu praktis. Ingin ruangan dingin, tidak usah buka jendela lebar-lebar, tinggal nyalakan AC. Ingin cemilan, tinggal beli ke tukang dagang pinggir jalan dan minimarket. Ingin perjalanan nyaman, pakai mobil meskipun cuma sendiri.

Lah dikiranya hidup enak yang modern itu beneran selalu enak? Dikiranya hidup serba praktis itu tidak ada yang rugi?

Semuanya lupa. Lupa sama alam.

Coba bayangkan saja. Semua umat manusia yang sudah terasuki modernisasi, banyaknya tidak sadar diri. Apalagi modernisasi kalangan menengah ke bawah. Yang ikut tergeser urbanisasi secara paksa.

Masyarakat yang tinggal di pemukiman pinggir rel kereta itu, inginnya hidup praktis saja. Ya ada sampah tinggal lempar dekat rel. Dikiranya rel kereta itu tempat sampah?

Masyarakat menengah ke bawah yang naik kereta, buang sampah sembarangan di dalam kereta. Enak saja, ya memang tidak ada tempat sampah. Ya dipikirnya sampah itu urusan petugas kebersihan saja. Dikiranya jaman sekarang hidup bisa bergantung sama profesi orang lain? Mandiri sedikit, kenapa?

Masyarakat menengah ke atas, kemana-mana pakai kendaraan pribadi. Lebih efisien menghindari macet, inginnya sampai tujuan langsung. Begitu BBM naik pada protes. Dikiranya minyak bumi bakal terus ada sampai akhir jaman?

Masyarakat yang tinggal di pinggir sungai, begitu ada sampah ya lempar ke sungai. Begitu banjir, demo sampai nangis-nangis. Dikiranya sampah bakal lewat mulus tanpa menghambat saluran?

Kamu makan dari mana? Dari gedung pencakar langit yang kamu bangga-banggakan?
Napasmu, apa yang membuatnya terjaga? Polusi yang kamu produksi setiap hari?
Tanah yang kamu pijak kokoh karena apa? Sampah yang kamu timbun di dalamnya?


Come think of it, dude.
Berdasarkan data dari WWF pun, saat ini bumi sudah melebihi kapasitas menampung manusia.


Bukan hanya tentang banyaknya manusia yang hidup. Dibandingkan peningkatan jumlah manusia, peningkatan CO2 di Bumi jauh lebih tinggi. Ini baru data tentang CO2, belum lagi data-data yang lainnya. 

Ayolah, jangan selalu jadi patung lilin. Inginnya hidup praktis dan tutup mata pada alam. Jangan selalu salahkan pemerintah tentang tata kota yang buruk dan rute angkutan umum yang tidak memadai. Tentang daur ulang sampah yang tidak becus. Apa sulitnya memulai dari hal kecil, yang untuk diri kita sendiri. Jangan selalu ikuti kebiasaan masyarakat yang buruk. Sudah tau merusak, kenapa diikuti. Perlihatkan bahwa anda tidak sebodoh mereka yang tidak peduli. 

Kebaikan, akan kembali kepada kita juga pada akhirnya. 

Bayangkan saja bagaimana bumi ini sepuluh tahun mendatang, dengan masyarakat yang terus merusak alam. Hanya jika, sepuluh tahun lagi itu masih ada.


P.S: Sebelumnya saya ingin menulis komentar di post om Keven tentang berbuat baik. Berhubung satu dan lain hal, akhirnya dipanjangkan jadi postingan. 

5 komentar:

  1. Huhu renungan mendalam. :'( Aku juga berusaha buat menjaga bumi sebisa mungkin.
    Btw, kamu cocok jadi Duta WWF :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha makasih tapi aku nggak tau akses ke sana buat jadi duta nya gimana :')

      Hapus
  2. Emang sudah tidak dibendung lagi soal sampah ini, ya semoga aja kita yang masih sadar akan kebersihan lingkungan, tetep bisa menjaga dan tidak seperti mereka yang melupakan akan keharusan menjaga lingkunga.

    Salam kenal ya :)

    BalasHapus
  3. sekarang memang sudah tidak seimbang lagi kak...

    BalasHapus

Aku jarang balas komentar di sini, kalau mau jawaban yang fast response boleh DM ke Instagramku (atau twitter) di @safiranys ya!

COPYRIGHT © 2017 · SAFIRA NYS | THEME BY RUMAH ES