Selasa, 20 September 2016

KUNST House Jatinangor: Seni Warung Lokal

'Anak generasi kalian mah kalau makan teh harus dipikir pake seni segala. Padahal mun ceuk urang mah ai lapar mah nya dahar, tinggal pake ilmu sains. Aya dahareunna bukti empiris, dahar. Beres. Maranehmah make kudu rapat sagala rek dahar dimana. Padahal mun dipikir teh da teu penting eta mikiran rek dahar jeung naon'

('Generasi kalian tuh kalau makan harus dipikir pake aspek seni segala. Padahal sebenernya kalau lapar ya makan aja, pakai aspek sains. Makanannya ada sebagai bukti empiris, lalu makan. Selesai. Ngapain coba kalian harus berunding segala buat nentuin lokasi makan. Padahal kalau dipikir sih nggak penting memikirkan makan sama apa.')

Bapak filsafat, you got me. And the whole class now knows that I have such a big big big laughter. Thanks.
Karena pagi itu, aku udah ngerencanain untuk makan siang di mana.

Foto kiriman KUNST House Coffee (@kunsthouse) pada



KUNST House Jatinangor, yang sebrang Dunkin Donuts. Iya sebrangannya jauh banget memang, kayak jarak antara aku dan kamu.

Nggak ada alasan spesial selain penasaran. Penasaran liat Instagramnya, fotonya bagus-bagus amat. Penasaran sama makanannya, Rosti, yang ngga pernah aku denger sebelumnya. Penasaran karena diomongin terus sama kak Hilwa. Katanya tempatnya homey, ada wifi, dan ga gitu mahal. Penasaran apakah warung makan ini bener-bener berasa kayak rumah seperti namanya.

Karena nggak sempat menelusuri lantai dua (padahal aku di Kunst itu lama like two or three hours), aku cuma lihat-lihat bagian bawahnya KUNST House aja. Men, suasananya homy banget. Ini mah ga kayak tempat makan. Kayak ruang kerja bersama di kostan besar yang terhubung ke dapur. Dan masakannya dibuatin sama ibu kost dengan penuh love ❤


Durasi pesanan datang emang agak lama karena menunya made from scratch, dan tenaga kerja masih terbatas. Karena itu, tempat ini nggak cocok buat kamu yang lagi buru-buru atau nggak suka nunggu lama-lama kayak dosen galak. Tempat ini diperuntukkan buat ketemu santai sama temen lama, meeting untuk kolaborasi sama partner proyek kecil-kecilan, dan ngerjain skripsi. Basically semua hal yang butuh santai.

Aku sangat nggak merekomendasikan datang ke sini siang bolong. Ruangan yang luasnya terbatas, banyak kaca di mana-mana plus pendingin ruangan yang cuma ada satu bikin kamu keringetan. Kecuali kalau emang pengen membakar kalori tanpa bergerak sih, oke-oke aja. Tapi kalau kamu bisa datang ke sini saat sore syahdu kelabu yang gimana gitu, mungkin kamu nggak akan mau pergi dari sini. Adem bikin betah, apalagi pilihan lagunya yang dulu suka dinyanyiin sama Wildhan semua: selow-selow adem. (Contoh: lagu-lagunya Jayesslee.)


Ini Rosti. Nama yang baru aku denger sekali, makanan yang baru aku lihat sekali. Kalau menurut Wikipedia, Rosti itu makanan dari Swiss yang didominasi sama kentang bergaya fritter. Buset kan, kentang aja ada seninya men. Biasanya dimakan saat sarapan, but we all know potato WILL NEVER GO WRONG IN ANY OCASSION. Period.

Kalau menurut Wikipedia ini kentang gaya fritter, menurutku ini mirip kentang yang mau dijadiin kentang mustofa. Tau kentang mustofa kering bumbu merah gitu kan? Nah, ini versi masih baru selesai dipotong, lalu dimasak tanpa bumbu merah--cuma bumbu perasa biasa dan agak basah. Kekurangannya, terlalu banyak minyak di piring. Minyak excess dari potato sih pasti, dan sebenernya I kinda enjoyed it. Rp25.000, kenyang sampai malam. Kok bisa? Ya lihat aja piringnya segede apa dan bayangkan di balik telur itu kentang semua. Yha.

Aku pilih topping telur mata sapi meskipun lagi jerawatan dan PMS because, it looks the most delish. Ya siapa sih yang bisa menolak kuning telur yang lumer. APALAGI LUMERNYA KE KENTANG. Bye I die.


Udah lama memang, aku nggak minum kopi karena satu dan lain hal. Dulu biasanya kalau kopi ya yang sachet-sachet instan aja. Eh sekarang begitu umur segini dipertemukan sama kopi dari hotel yang bening gitu dan nikmatnya selangit, jadi nggak pengen lagi minum kopi latte. Apalagi kopi sachet. And guess what? Kunst ini menyediakan kopi manual brewing dengan harga Rp25.000 aja gaes. Biasanya di local coffe shop lain harganya starts from Rp35.000 (CMIIW). Tanpa ba-bi-bu, pesanlah aku kopi manual brew. But dude, I'm sooooo new to this manual brewing world. Karena nggak tau apa-apa, aku asal pilih gaya Syphon untuk kopi East Java.


Aku belum pernah coba manual brew lain jadi nggak ngerti bedanya, but the thing is: kopi east java pake manual brew syphon is acidly strong. Kalau kamu punya maag, mungkin bisa langsung masuk rumah sakit sekali icip ini (lebay). Meskipun aku nggak menghabiskan satu wadah Syphon, energiku masih terisi full sampai besok paginya.

Tapi malem itu aku tetep tidur jam 10 malam-an karena kalah sama nyamannya habis mandi. Hiks. Kopi sama mandi itu dua hal yang ga bisa disatukan.


Kalau aku mampu, pengennya aku ke KUNST tiap ada waktu buat ngopi. Tapi karena jarak yang agak melelahkan dan saku yang nggak tebel-tebel amat, I will definitely back once or twice in a month for coffee. Jujur, aku lebih suka kopi-kopi dari local shop dibanding retailer kayak alfamaret, mecede, apalagi setarbak dan kawan-kawan. 

Kalau beli di tempat waralaba begitu, kita cuma ngebantu si empunya waralaba biar tambah terkenal dan tambah banyak penghasilan. Padahal, tanpa kita beli pun si empunya udah hidup mewah karena brandingnya udah terkenal di seluruh dunia.

Sedangkan kalau beli di tempat lokal yang mungil-mungil, kita ngebantu orang sekitar untuk lebih maju mengembangkan usaha kecil mereka. Selain emang lebih murah karena nggak ada pajak-pajakan, secara nggak langsung juga kita memakmurkan tetangga sendiri. Apalagi kalau setelah berkunjung, kita share tempat lokal ke sosial media. Makin banyak yang tertarik dateng ke usaha lokal.

Dengan membantu mempopulerkan usaha tetangga lewat sosial media aja, kamu udah jadi orang yang berguna loh. Semudah itu mengamalkan ajaran agama.

10 komentar:

  1. Kafe ini bukan kafe baru kan fir? Seingetku pas mau main ke jatos, kafe ini udah ada deh. Tapi yah, pesona checo saat itu lebih bersinar daripada tempat makan manapun. Jadi kalau lagi tanggal muda makan disana terus :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Deuh kalau diliat dari Instagramnya sih ini masih keitung baru tapi entahlah .-.
      Ah checo sampe sekarang masih tetep nyaman sih. Berat di tax aja, hahahaha ;'3

      Hapus
  2. Aku kepengen anget itu rosti. Ya Allah, dari liat di IG kamu juga udah ngiler! :((

    BalasHapus
  3. Anak non-jatinangor yang jatinangor banget~

    Rikues review warung SS dong, sodaraku yang di marnat aja jauh2 dateng ke nangor cuman buat makan di SS loh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin karena hatiku tertinggal di Jatinangor /hah/

      Iya rencananya mau makan di SS tapi belum sempat. Semoga bisa bulan depan deh 😄

      Hapus
  4. Halo salam kenal :)

    Ini kafe gaya2 jerman (atau swiss-jerman) gtu kayaknya ya.. Kunst (dalam bahasa jerman= art). Yang pasti sih waktu saya di jatinangor thn 2003-2009 belum ada..hehehe *ya iyalah*

    BalasHapus
  5. Adeuh yusful bgt infonya neng Saf... ��kenalin ini emak 2anak yg sdg tmbh kembang yg pas lg jenuh2nya pengen cari apa yg sdh berubah diluar sana yg bs inspire my getting old brain eh.... Alhamdulillah lsg klik ke blognya neng Saf ini.... pertama baca info ttg perpust itb(da udah lama ga baca buku) ih....resep pisan bacanya, lalu ttg kafe di jtngr, Kunst, saya jd ada tujuan yg jelas klo jln2 kesanah kesanah(da trakhir th 2009 sm alm.suami ksanah msh Gmn gitu dsana teh,jd kurg kurg semangat...) moga semakin byk info ttg kemajuan bandung yg diposting ya Neng Saf, biar mengusir kejenuhan para generasi yg ampir 40an yg cinta bdg tp bararosen da dikira diluar sana kota bdg teh kitu2 wae...(maklum IRT��)
    �� thx a lot ya Neng...

    BalasHapus
  6. wah seru kayanya kalau nongkrong bareng temen di cafe ini ya kak

    BalasHapus
  7. cafe yang enak buat nongkrong sama teman teman

    BalasHapus

Aku jarang balas komentar di sini, kalau mau jawaban yang fast response boleh DM ke Instagramku (atau twitter) di @safiranys ya!

COPYRIGHT © 2017 · SAFIRA NYS | THEME BY RUMAH ES