Minggu, 25 September 2016

Mengikhlaskan yang Hitam dan Putih


Aku memang terkenal dengan orang yang lebay, kalau lagi suka sama sesuatu pasti berlebihan. Lagi suka greentea, sabun mandi aja harus greentea. Lagi suka jejepangan, pernah sampai hafalin kanji segala. Tapi selama aku hidup, belum pernah aku merasakan sesuatu yang lebih buat (artis) cowok. Bahkan sebelumnya aku emang ga pernah suka penyanyi/artis cowok.

Tapi nasib mengatakan lain. Segalanya berubah kala aku dengar lagu Tulus - Langit Abu-abu di sebuah stasiun TV swasta.


Entah pagi itu yang memang sedang kelabu atau hatiku yang rapuh, disentuh nada dari Tulus langsung kolaps. Men. Nga sangghup :"

Itu bukan kali pertama aku dengar lantunan dari Tulus. Jaman-jamannya Sepatu ramai di Radio, aku pun cukup menikmati aura suaranya. Tapi waktu itu, mendengarnya sesekali sudah cukup. Hatiku nggak tersentuh, anganku nggak larut. Setelahnya, aku lupa ada penyanyi yang bernama Tulus. Aku nggak tahu dia sudah mengeluarkan berapa album. Tahu-tahu, kini tak pernah luput sehari pun aku memutar Monokrom-nya Tulus di Spotify.



Kak Alwin dan Kak Willy, mereka udah duluan suka sama Tulus. Sedangkan aku, ketinggalan jauh. Menurut mereka berdua, albumnya Tulus yang ini emang paling di-enjoy-keun pisan dibanding yang lain. Meskipun aku baru 'kenal' Tulus sekarang, aku bisa merasakan album Monokrom ini memang beda. 

Kalau dulu, mendengar lagunya Tulus itu bagai menyapa kawan yang setiap hari lewat di depan kelas. Namun, mendengar sepuluh lagu yang ada di Monokrom ini bagaikan dipeluk hangat oleh sahabat lama. Meluapkan kesedihan lalu melupakannya. Digenggam erat penuh cinta oleh keluarga. Hingga rebahan di atas rumput hijau menikmati semilir angin yang menyapa wajah. Ternyata Tulus punya rahasianya. Kenapa album ketiga ini bisa menjadi begitu akrab bagi pendengar meski kami tak punya memori-memori tersebut.



Tulus mengerahkan seluruh waktu, kemampuan, dan jiwa yang dia punya dalam menyusun album ini. DJ Arie pernah bilang bahwa persiapan yang matang adalah bagian dari pertunjukan, dan Tulus membuktikannya. Dalam versi lain, kak Sweta Kartika menyatakan bahwa pengalaman-lah yang membuat sebuah karya jadi ber'jiwa'. Meskipun aku nggak tahu apa saja yang udah dilewati Tulus untuk membuat album ini, tapi aku bisa merasakan hasilnya. Kamu pun begitu, kan?

Aku berani bilang, album Tulus - Monokrom ini udah ngebantu aku belajar tentang dan untuk hidup. Meskipun nggak secara langsung, diksi yang mengalir di setiap lirik bisa masuk ke alam bawah sadar, menemani setiap hari. Langkahku jadi lebih ringan, dan pikiranku terbuka. Entahlah. Banyak hal ajaib terjadi. Hal yang terlalu sulit untuk kujabarkan, apalagi kamu mengerti.

Yang jelas, aku bersyukur bisa jadi salah satu penikmat lagunya Tulus. Rasa ini terlalu indah buat diungkapkan oleh kata, dan inilah harta karunku. Jadi kukira kamu harus mencari tahu nikmat itu sendiri agar rasanya spesial.
See you on November, Tulus.

5 komentar:

  1. Lagu-lagunya dia memang beda ya liriknya. Dalem banget. Beda jauh sama lagu-lagu Indonesia pada umumnya hahaha. Itu yg Langit Abu-Abu liriknya kena banget sama hal yg pernah gua alami. Duh, gua jadi baper....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya emang beda banget sama lirik lagu yang lain :))

      Hapus
  2. aku juga suka banget sama album baru tulus yang satu ini (tapi emang suka sejak sebelum album gajah sih) terlebih lagi ruang sendiri sama monokrom.

    Nanti deh nyoba dengerin full albumnya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah Ruang Sendiri dan Monokrom mah yang sering nongkrong di radio, atuh~

      Hapus
  3. sama banget kak, saya juga suka album tulus .. ampir setiap hari diputur hehe

    BalasHapus

Aku jarang balas komentar di sini, kalau mau jawaban yang fast response boleh DM ke Instagramku (atau twitter) di @safiranys ya!

COPYRIGHT © 2017 · SAFIRA NYS | THEME BY RUMAH ES